Friday, July 27, 2007

Sekolah Minggu

oleh Nico Jonathan

Ada satu orang pendeta lagi ngunjungin sekolah minggu gerejanya. Waktu anak2 sekolah minggu liat dia, semua seneng gt, langsung kerumunin dia. Setelah ngobrol2 sebentar, dia iseng, trus nanya, "Siapa yang ngerobohin tembok Yerikho?" trus pendeta senyum2 sambil tunggu jawaban. Tapi, bukannya ngejawab, anak2 pada nunduk. Pendetanya mikir, "Mungkin gw ngomongnya terlalu cepet kali yah?" trus dia ulang dengan pelan, "Siapa yang rubuhin tembok Yerikho?" Diluar dugaan, anak2 tambah nunduk, dan mulai ada yang mau nangis. Pendeta super bingung. Akhirnya dia panggil anak yang paling tua di sana, Kris namanya, trus tanya lagi, "Kris, kamu tau ga siapa yang runtuhin tembok Yerikho?"
Tau reaksi Kris?
Sambil nangis dia bilang, "Saya ga tau pak pendeta.....tapi sumpah, itu bukan saya" dan pendetanya shock berat.

Ga lama kemudian dia kumpulin semua guru2 sekolah minggu dan dia marah. "Kalian ini gimana si, ngajar apa aja di sekolah minggu!? masak tadi saya nanya siapa yang runtuhin tembok Yerikho, ga ada yang jawab. Saya tanya si Kris dia malah nangis2 dan bilang kalo dia sumpah bukan dia yang runtuhin!"
Semua diem...tiba2 ada satu guru angkat tangan. "Pak pendeta, si Kris itu memang nakal pak. Dia emang bilang bukan dia yang runtuhin, tp bisa aja sebenernya dia." Pendeta mulai stress dan sakit kepala.

Sorenya, si pendeta kumpulin semua majelis2 gereja dan dia marah2 lagi. "Gimana ini gereja kita!? mau ke mana arahnya?! Masak tadi saya tanya anak sekolah minggu siapa yang runtuhin tembok yerikho, malah ada yang bersumpah kalo bukan dia yang runtuhin. Begitu saya tanya gurunya, katanya anak itu emang suka bohong. gimana sih?!"
Ada satu anggota majelis yang angkat tangan, "Udah pak pendeta, ga usa dipermasalahin lagi siapa yang runtuhin tembok Yerikho. Kita sekarang fund raising aja, trus kita bangun lagi temboknya. Gampang kan?" Trus si pendeta pingsan.

Sudahkah Anda membaca alkitab Anda hari ini?

Wednesday, May 16, 2007

A Tribute to My Mom

oleh Pdt. Hengkie Tjahjadi

Selasa, 1 Mei 2007, malam, sepulang main badminton. Di perjalanan tiba-tiba wajah Mamah tampil jelas dalam ingatan. Senyum polosnya, kerut-kerut di wajahnya, sayu mata yang telah termakan usia, trampil tangan keriputnya ketika menyiangi sayuran didapur, ah… andai saja saya seorang pelukis ingin rasanya menuangkan goretan ingatan itu di atas sebuah kanvas. Tidak terasa mata terasa basah, ada butir-butir air hangat kuku yang bergulir di pipi. Ya, saya menangis, tangisan bangga punya Mamah bernama Tjan Yang Nio; tangisan sedih karena rasanya belum cukup membahagiakan dia, lebih lagi ketidak-mampuan berada di sisinya ketika sang ajal datang menjelang; juga tangisan terima kasih untuk pengorbanannya yang teramat besar tampa pamrih, sebuah pengorbanan yang makin saya mengerti saat ini ketika bergumul membesarkan 3 anak, berdua dengan istri. Sedang dia, Mamah, 7 anak, sendiri. Dan … butir-butir itu bertambah intense. Lalu, akumulasi perasaan itu menggeliat, meronta, memintaku untuk menyatakan sejuta rasa itu dalam sebuah refleksi pribadi, untuknya, wanita mulia yang kukenal dalam hidupku, Mamah.

Tetapi dari mana harus memulainya, karena dahulu saya kurang menyimak ketika Mamah bernostalgia tentang masa lalunya. Menyesal, amat menyesal, mungkin itu kelemahan orang muda, kurang menghargai sejarah. Sehingga silsilah dan alkisah orang tua tidak mendapat tempat dan perenungan semestinya. Hingga yang kupunya sekarang hanyalah penggalan-penggalan cerita, yang secara kebetulan bertengger di ranting ingatanku. Beruntung masih punya keponakan, di Bandung, Mariyam namanya. Dia banyak bercerita tentang masa lalu Mamah.


Berbaju amat sederhana, dibekali topi anyaman bambu dan sebuah ember plastik, gadis kecil itu berjalan kesana-kemari disebuah perkebunan Melati. Semerbak buang putih mungil itu memang mampu menutupi aroma tak sedap keringatnya bekerja sehari suntuk, bahkan kadang membuat dia lupa dengan lusuh dan letih tubuhnya. Tangannya yang kecil, gelap tersengat matahari, lincah memetik bunga-bunga mekar bahan campuran Teh wangi. Yang Nio, dalam usia belia, sudah harus bekerja mencari nafkah. Pernah satu waktu, dia sempat hampir diculik oleh seorang laki-laki kekar bersepeda. Pernah pula dia tersasar. Dan untung selalu tertolong. Nasibnya tentu tidak sedemikian jika saja dia masih memiliki orang tua. Nio kecil sudah menjadi yatim piatu saat itu. Kedua orang tuanya meninggal dalam tempo 3 minggu, tragis memang. Semua saudara berpencar. Dan Mamah dipelihara oleh keluarga Mpe Wari. Disana dia terpaksa harus menghadapi kerasnya dunia real dalam usia yang terlalu dini. Dalam episode inilah mental ‘survivor’ Mamah bertumbuh kembang dalam kepolosan dan kesederhanaannya, dan ia tidak mengenal pengertian menyerah untuk berjuang - minimal bertahan - gigih hingga titik harap penghabisan. Atau mungkin Tuhan tengah mempersiapkan dia untuk sebuah liku-liku kehidupan yang membutuhan kehadiran seorang ibu berhati lembut namun bermental tegar.

Minggu kemarin saya bertemu dengan sepupu, . Usianya 70 tahun, jauh lebih tua, tetapi dalam peringkat struktur keluarga kita setara katanya. Alhasil tidak ada alternatif panggilan lain kecuali menyapanya “Koh”, lengkapnya Koh Sui Tjien. Sejak pertama berjumpa di Gereja, dalam perjalanan ke San Francisco, hingga menghantarnya kembali ke Hotel, 90% pertanyaan berkisar tentang Mamah. Mungkin dia agak terkejut dengan antusiasme dan lengkapnya daftar pertanyaan saya tentang Mamah. Ada satu yang membuat hati terharu, ucapan yang beberapa kali diulanginya. Katanya, “Yang membuat Mamah pantas disebut berhati mulia oleh karena dia selalu mau menolong orang walau dia sendiri susah.” Mamah selalu terbuka tangannya untuk menampung sanak famili yang datang dari Cirebon ke Jakarta walau ia sendiri tidak sedang jaya katanya. Wow … Bangganya hati ini. Tiba-tiba teringat cerita tua, bahwa dahulu ketika sekeluarga masih tinggal di pinggir kali Toko Tiga, Blandongan, Mamah selalu menyediakan kendi berisi air putih dingin. Selalu penuh terisi dengan beberapa gelas plastik dan ember kecil untuk mencuci. Disediakan bagi para tukang becak yang memang sering mangkal di depan rumah. Dan sesekali Mamah masak sup sepanci besar, favoritnya sayur asam, juga diberikan dengan cuma-cuma untuk para tukang becak.

Tetapi liku-liku hidup Mamah amat melelahkan. Sejak kelas 4 SD saya sudah tidak lagi memiliki ayah. Dan Mamah harus membanting tulang membesarkan tujuh anak. Pagi-pagi buta sudah bangun dan berangkat kerja. Sempat pula sebelumnya membangunkan kami untuk sekolah, menyediakan sarapan pagi, memberi uang jajan. Senja, ketika matahari terbenam barulah dia kembali. Bertahun-tahun dilewatinya seperti itu. Saya sungguh-sungguh tidak dapat merasakan pergumulan dan besarnya pengorbanan Mamah hingga saat saya sendiri bergumul membesarkan 3 anak. Tidak punya waktu ia memperhatikan dan mengawasi sekolah serta pergaulan anak-anaknya. Tetapi kehadirannya selalu memberi kehangatan seorang Mamah yang selalu saya rindukan, bahkan hingga saat ini.

Teringat saya bagaimana menyampaikan Injil kepada Mamah. Mamah senang sekali dipijati. Dan saya adalah pemijat langganannya. Sewaktu-waktu Mamah memberi upah untuk itu. Tetapi malam itu saya menawarkan diri untuk memijat, hanya sementara melakukannya saya bercerita tentang Yesus. Mamah punya sebuah keramat di atas loteng, katanya adalah roh anak yang keguguran. Si Pungut namanya. “Mah, apakah Mamah percaya bahwa si Pungut dapat membawa Mamah ke Surga?” Itu pertanyaan saya pertama. Dari sana pembicaraan kita berkembang. Dan Tuhan sepertinya sudah mengkondisikan hatinya untuk terbuka bagi Dia. Mamah mengijinkan saya membuang si Pungut. Dan dia berjanji akan ikut ke Gereja. Singkat cerita, beberapa tahun kemudian Mamah dibaptis di sebuah gereja Pentakosta, Rengas Dengklok.

Perjumpaan terakhir dengan Mamah adalah Juli 1997. Dia memasakkan kesukaanku dulu, Sayur Asam. Kita sempat pergi berdua, saling bertukar cerita, berdoa, bahkan menangis bersama berbagi rasa rindu. Saya traktir Mamah di sebuah restoran yang baik. Sempat kuundang Mamah untuk jalan-jalan ke Amerika, tetapi jawabannya selalu sama, “Takut mati di atas pesawat” katanya. Di hari terakhir, sebelum mengucapkan selamat berpisah, Mamah punya insting yang tajam. Katanya, “Heng, mungkin kita tidak akan berjumpa lagi!”. Dia benar, saya tidak lagi punya kesempatan berjumpa dengannya.

Saya bersyukur kepada Tuhan untuk Mamah. Dia adalah seorang pahlawan besar dalam hidupku. Ketabahannya, kemurahan hatinya, pengorbanannya, dan cinta-kasihnya akan selalu terukir dengan tinta emas dalam sejarah. Thanks Mah! I love you!

Friday, April 20, 2007

You Caused Me To Do THIS

Dia pendiam. Satu kata cukup untuk menjawab setiap pertanyaan yang dilemparkan teman-temannya. Dalam sebuah kesempatan dikelas, dia menulis tanda-tanya sebagai namanya, misterius! Dia punya kekasih di alam khayal, gadis cantik super model. Dia senang duduk berlama-lama dimeja, dengan mata yang menerawang kosong ke depan. Dia sempat menulis kisah-kisah horor, dengan pembunuhan sebagai penyelesaiannya. Dan dia, berwajah tidak asing bagi kita, wajah asia. Dia adalah Cho Seung Hui. Cho, yang telah mengukir sejarah baru Amerika, pelaku Asia pertama dalam untaian peristiwa pembunuhan disekolah yang memakan banyak korban.

32 nyawa melayang. Satu diantara mereka adalah teman senegeri, Partahi Lombantoruan, yang tengah menyelesaikan program doktoralnya. Kita menyesali dan mengutuk tindakan kejam ini. Benar kata saudara perempuan Cho, “He has made the world weep”. Dan kita mendoakan kiranya Tuhan memberikan kekuatan dan penghiburan kepada setiap keluarga korban yang tengah berdukacita, juga mempercepat proses kesembuhan bagi mereka yang tengah dirawat di rumah sakit. Tanpa melupakan keluarga Cho sendiri yang tentu amat menderita.

“Kalian yang menyebabkan saya melakukan ini!” katanya; lainnya, “"Kalian telah merusak hatiku, memperkosa jiwaku, dan menghanguskan kesadaranku," berbicara di hadapan kamera. Sesekali dia melihat ke bawah untuk membaca teks pernyataannya. "Kalian mengira sedang mematikan kehidupan pedih seorang anak laki-laki. Berkat kalian, saya mati seperti Yesus Kristus, untuk mengilhami generasi yang lemah dan orang-orang tak berdaya." Sulit dapat dipercaya seorang Autistic dapat menyusun kalimat seperti ini, apalagi terencana mendeklarasikan itu didepan kamera, lalu mengirimnya ke NBC. Lalu, apakah faktor pemicu yang perlahan namun pasti mampu mengakumulasi keberanian yang jahat dan nekat pada dirinya? Siapakah sesungguhnya “kalian” dan “mereka” yang dia maksud? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan mahal yang tengah ditelusuri.

Pamannya di Korea mengatakan bahwa memang sejak kecil dia pemalu, jarang berbicara. Dan ucapan satu-satunya yang sering terdengar adalah “Yes Sir!”. Barangkali memang bawaan kepribadiannya sudah introvert sejak dulu. Reporter tidak sampai jauh menjelajahi hingga tahun-tahun pertama dia masuk Elementary sekolah di Amerika. Tetapi ada pengalaman amat pahit bagi Cho semasa di Junior & High School yang hemat saya ikut memberi kontribusi dari Cho si pendiam menjadi Cho sang pembunuh. Dia ditertawakan orang sekelas ketika diharuskan guru membaca keras-keras, “Go back to China” celoteh mereka . Stephanie Roberts, teman sekelasnya di High School berkata, “"There were just some people who were really mean to him and they would push him down and laugh at him," Dengan kepribadian yang kaku, ditambah ketidak-mampuannya berbahasa Inggris dengan baik, teman-temannya sering menjadikan dia target ejekan juga kekerasan. David, teman lainnya di Junior High menambahkan, “he was mercilessly teased in high school - which led them to believe he kept a "death list" of students he wanted to kill.”

Jika benar pengalaman-pengalaman seperti itu yang mengisi hari-harinya selama 3 tahun di Junior dan 4 tahun di High School, apakah pengalaman ini membuat Cho yang lahir dengan kepribadian rapuh, acuh, introvert, hidup dalam dunianya sendiri, lambat laun kemudian menjadi anti-social, penuh kecurigaan, dan benci serta dendam terhadap dunia luar? Adakah ucapannya:

“Do you know what it feels to be spit on your face and to have trash shoved down your throat?
Do you know what it feels like to dig your own grave?
Do you know what it feels like to have throat slashed from ear to ear?
Do you know what it feels like to be torched alive?
Do you know what it feels like to be humiliated and be impaled upon on a cross?”

adalah refleksi perasaan, persepsi dan pengalamannya? Walahualam …. Hanya Tuhan yang memahami total.

Andai saja jawaban atas pertanyaan di atas adalah positive, maka tidak heran jika Cho semakin mengisolasi diri. It menutup pinta kehidupannya kuat-kuat terhadap kehadiran orang luar. Dan tentu ini menambah runyam sakit mental dan syndrome kesepiannya. Tidak heran jika Lucinda Roy, seorang co-director of the creative writing program, yang memberi kesan tentang Cho, "extraordinarily lonely—the loneliest person I have ever met in my life."

Tentu Cho yang paling bertanggung-jawab, dia layak mendapatkan hukuman yang seberat-beratnya jika saja dia survive. Tetapi tragedy seperti ini perlu juga mengajak kita merenung. Apa tanggung-jawab kita sebagai masyarakat terhadap seorang Cho? Lebih spesifik lagi: Tanggung jawab kita sebagai masyarakat Kristen? Tanpa kita sadari, disekitar kita mungkin ada “Cho” “Cho” yang berkeliaran. “Cho” yang kesepian, merasa terbuang, terisolasi dalam dunianya sendiri, pesimis, frustrasi, benci dengan dunia luar yang dingin terhadapnya.

Yesus pernah mengangkat sebuah perumpamaan tentang “Cho”. Ia tengah tergeletak dipinggir jalan karena tubuhnya penuh luka, teraniaya oleh kekejaman realita dunia. Lalu bekal dan harta simpanannya ludas, disikat rampok yang memang senang mencari mangsa mereka yang sedang berjalan dalam kesendirian. Lewatlah sekelompok counselors yang sempat menyapa dan memberi sedikit nasihat. Lalu beberapa Pendeta yang menganggukkan kepala dan berjanji berdoa bagi dia. Tetapi “Cho” masih disana, tidak ada yang sungguh perduli dan menjamahnya. Hingga, lalulah “Sam”, sipenyembah berhala, lengkap dengan rantai bermata kantong merah, ajimat dari kuil ibadahnya. Melihat “Cho”, tersentuh rasa kemanusiaannya. Dihampiri dia, diobatinya dengan minyak yang juga pemberian suhunya. Dibawanya “Cho” ketempat yang aman lagi tepat untuk proses penyembuhan berjalan dengan baik.

Dalam saat prihatin ini. Baik juga jika kita berdoa, “Ya Tuhan, berilah kami hati seperti Sam. Yang tidak hanya peka terhadap menderitaan sesama, tetapi penuh kesungguhan untuk mewujudkan kepekaannya.” Agar tidak ada lagi mereka yang berhak berkata, “you caused me to do that”.