Friday, April 20, 2007

You Caused Me To Do THIS

Dia pendiam. Satu kata cukup untuk menjawab setiap pertanyaan yang dilemparkan teman-temannya. Dalam sebuah kesempatan dikelas, dia menulis tanda-tanya sebagai namanya, misterius! Dia punya kekasih di alam khayal, gadis cantik super model. Dia senang duduk berlama-lama dimeja, dengan mata yang menerawang kosong ke depan. Dia sempat menulis kisah-kisah horor, dengan pembunuhan sebagai penyelesaiannya. Dan dia, berwajah tidak asing bagi kita, wajah asia. Dia adalah Cho Seung Hui. Cho, yang telah mengukir sejarah baru Amerika, pelaku Asia pertama dalam untaian peristiwa pembunuhan disekolah yang memakan banyak korban.

32 nyawa melayang. Satu diantara mereka adalah teman senegeri, Partahi Lombantoruan, yang tengah menyelesaikan program doktoralnya. Kita menyesali dan mengutuk tindakan kejam ini. Benar kata saudara perempuan Cho, “He has made the world weep”. Dan kita mendoakan kiranya Tuhan memberikan kekuatan dan penghiburan kepada setiap keluarga korban yang tengah berdukacita, juga mempercepat proses kesembuhan bagi mereka yang tengah dirawat di rumah sakit. Tanpa melupakan keluarga Cho sendiri yang tentu amat menderita.

“Kalian yang menyebabkan saya melakukan ini!” katanya; lainnya, “"Kalian telah merusak hatiku, memperkosa jiwaku, dan menghanguskan kesadaranku," berbicara di hadapan kamera. Sesekali dia melihat ke bawah untuk membaca teks pernyataannya. "Kalian mengira sedang mematikan kehidupan pedih seorang anak laki-laki. Berkat kalian, saya mati seperti Yesus Kristus, untuk mengilhami generasi yang lemah dan orang-orang tak berdaya." Sulit dapat dipercaya seorang Autistic dapat menyusun kalimat seperti ini, apalagi terencana mendeklarasikan itu didepan kamera, lalu mengirimnya ke NBC. Lalu, apakah faktor pemicu yang perlahan namun pasti mampu mengakumulasi keberanian yang jahat dan nekat pada dirinya? Siapakah sesungguhnya “kalian” dan “mereka” yang dia maksud? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan mahal yang tengah ditelusuri.

Pamannya di Korea mengatakan bahwa memang sejak kecil dia pemalu, jarang berbicara. Dan ucapan satu-satunya yang sering terdengar adalah “Yes Sir!”. Barangkali memang bawaan kepribadiannya sudah introvert sejak dulu. Reporter tidak sampai jauh menjelajahi hingga tahun-tahun pertama dia masuk Elementary sekolah di Amerika. Tetapi ada pengalaman amat pahit bagi Cho semasa di Junior & High School yang hemat saya ikut memberi kontribusi dari Cho si pendiam menjadi Cho sang pembunuh. Dia ditertawakan orang sekelas ketika diharuskan guru membaca keras-keras, “Go back to China” celoteh mereka . Stephanie Roberts, teman sekelasnya di High School berkata, “"There were just some people who were really mean to him and they would push him down and laugh at him," Dengan kepribadian yang kaku, ditambah ketidak-mampuannya berbahasa Inggris dengan baik, teman-temannya sering menjadikan dia target ejekan juga kekerasan. David, teman lainnya di Junior High menambahkan, “he was mercilessly teased in high school - which led them to believe he kept a "death list" of students he wanted to kill.”

Jika benar pengalaman-pengalaman seperti itu yang mengisi hari-harinya selama 3 tahun di Junior dan 4 tahun di High School, apakah pengalaman ini membuat Cho yang lahir dengan kepribadian rapuh, acuh, introvert, hidup dalam dunianya sendiri, lambat laun kemudian menjadi anti-social, penuh kecurigaan, dan benci serta dendam terhadap dunia luar? Adakah ucapannya:

“Do you know what it feels to be spit on your face and to have trash shoved down your throat?
Do you know what it feels like to dig your own grave?
Do you know what it feels like to have throat slashed from ear to ear?
Do you know what it feels like to be torched alive?
Do you know what it feels like to be humiliated and be impaled upon on a cross?”

adalah refleksi perasaan, persepsi dan pengalamannya? Walahualam …. Hanya Tuhan yang memahami total.

Andai saja jawaban atas pertanyaan di atas adalah positive, maka tidak heran jika Cho semakin mengisolasi diri. It menutup pinta kehidupannya kuat-kuat terhadap kehadiran orang luar. Dan tentu ini menambah runyam sakit mental dan syndrome kesepiannya. Tidak heran jika Lucinda Roy, seorang co-director of the creative writing program, yang memberi kesan tentang Cho, "extraordinarily lonely—the loneliest person I have ever met in my life."

Tentu Cho yang paling bertanggung-jawab, dia layak mendapatkan hukuman yang seberat-beratnya jika saja dia survive. Tetapi tragedy seperti ini perlu juga mengajak kita merenung. Apa tanggung-jawab kita sebagai masyarakat terhadap seorang Cho? Lebih spesifik lagi: Tanggung jawab kita sebagai masyarakat Kristen? Tanpa kita sadari, disekitar kita mungkin ada “Cho” “Cho” yang berkeliaran. “Cho” yang kesepian, merasa terbuang, terisolasi dalam dunianya sendiri, pesimis, frustrasi, benci dengan dunia luar yang dingin terhadapnya.

Yesus pernah mengangkat sebuah perumpamaan tentang “Cho”. Ia tengah tergeletak dipinggir jalan karena tubuhnya penuh luka, teraniaya oleh kekejaman realita dunia. Lalu bekal dan harta simpanannya ludas, disikat rampok yang memang senang mencari mangsa mereka yang sedang berjalan dalam kesendirian. Lewatlah sekelompok counselors yang sempat menyapa dan memberi sedikit nasihat. Lalu beberapa Pendeta yang menganggukkan kepala dan berjanji berdoa bagi dia. Tetapi “Cho” masih disana, tidak ada yang sungguh perduli dan menjamahnya. Hingga, lalulah “Sam”, sipenyembah berhala, lengkap dengan rantai bermata kantong merah, ajimat dari kuil ibadahnya. Melihat “Cho”, tersentuh rasa kemanusiaannya. Dihampiri dia, diobatinya dengan minyak yang juga pemberian suhunya. Dibawanya “Cho” ketempat yang aman lagi tepat untuk proses penyembuhan berjalan dengan baik.

Dalam saat prihatin ini. Baik juga jika kita berdoa, “Ya Tuhan, berilah kami hati seperti Sam. Yang tidak hanya peka terhadap menderitaan sesama, tetapi penuh kesungguhan untuk mewujudkan kepekaannya.” Agar tidak ada lagi mereka yang berhak berkata, “you caused me to do that”.