Wednesday, May 16, 2007

A Tribute to My Mom

oleh Pdt. Hengkie Tjahjadi

Selasa, 1 Mei 2007, malam, sepulang main badminton. Di perjalanan tiba-tiba wajah Mamah tampil jelas dalam ingatan. Senyum polosnya, kerut-kerut di wajahnya, sayu mata yang telah termakan usia, trampil tangan keriputnya ketika menyiangi sayuran didapur, ah… andai saja saya seorang pelukis ingin rasanya menuangkan goretan ingatan itu di atas sebuah kanvas. Tidak terasa mata terasa basah, ada butir-butir air hangat kuku yang bergulir di pipi. Ya, saya menangis, tangisan bangga punya Mamah bernama Tjan Yang Nio; tangisan sedih karena rasanya belum cukup membahagiakan dia, lebih lagi ketidak-mampuan berada di sisinya ketika sang ajal datang menjelang; juga tangisan terima kasih untuk pengorbanannya yang teramat besar tampa pamrih, sebuah pengorbanan yang makin saya mengerti saat ini ketika bergumul membesarkan 3 anak, berdua dengan istri. Sedang dia, Mamah, 7 anak, sendiri. Dan … butir-butir itu bertambah intense. Lalu, akumulasi perasaan itu menggeliat, meronta, memintaku untuk menyatakan sejuta rasa itu dalam sebuah refleksi pribadi, untuknya, wanita mulia yang kukenal dalam hidupku, Mamah.

Tetapi dari mana harus memulainya, karena dahulu saya kurang menyimak ketika Mamah bernostalgia tentang masa lalunya. Menyesal, amat menyesal, mungkin itu kelemahan orang muda, kurang menghargai sejarah. Sehingga silsilah dan alkisah orang tua tidak mendapat tempat dan perenungan semestinya. Hingga yang kupunya sekarang hanyalah penggalan-penggalan cerita, yang secara kebetulan bertengger di ranting ingatanku. Beruntung masih punya keponakan, di Bandung, Mariyam namanya. Dia banyak bercerita tentang masa lalu Mamah.


Berbaju amat sederhana, dibekali topi anyaman bambu dan sebuah ember plastik, gadis kecil itu berjalan kesana-kemari disebuah perkebunan Melati. Semerbak buang putih mungil itu memang mampu menutupi aroma tak sedap keringatnya bekerja sehari suntuk, bahkan kadang membuat dia lupa dengan lusuh dan letih tubuhnya. Tangannya yang kecil, gelap tersengat matahari, lincah memetik bunga-bunga mekar bahan campuran Teh wangi. Yang Nio, dalam usia belia, sudah harus bekerja mencari nafkah. Pernah satu waktu, dia sempat hampir diculik oleh seorang laki-laki kekar bersepeda. Pernah pula dia tersasar. Dan untung selalu tertolong. Nasibnya tentu tidak sedemikian jika saja dia masih memiliki orang tua. Nio kecil sudah menjadi yatim piatu saat itu. Kedua orang tuanya meninggal dalam tempo 3 minggu, tragis memang. Semua saudara berpencar. Dan Mamah dipelihara oleh keluarga Mpe Wari. Disana dia terpaksa harus menghadapi kerasnya dunia real dalam usia yang terlalu dini. Dalam episode inilah mental ‘survivor’ Mamah bertumbuh kembang dalam kepolosan dan kesederhanaannya, dan ia tidak mengenal pengertian menyerah untuk berjuang - minimal bertahan - gigih hingga titik harap penghabisan. Atau mungkin Tuhan tengah mempersiapkan dia untuk sebuah liku-liku kehidupan yang membutuhan kehadiran seorang ibu berhati lembut namun bermental tegar.

Minggu kemarin saya bertemu dengan sepupu, . Usianya 70 tahun, jauh lebih tua, tetapi dalam peringkat struktur keluarga kita setara katanya. Alhasil tidak ada alternatif panggilan lain kecuali menyapanya “Koh”, lengkapnya Koh Sui Tjien. Sejak pertama berjumpa di Gereja, dalam perjalanan ke San Francisco, hingga menghantarnya kembali ke Hotel, 90% pertanyaan berkisar tentang Mamah. Mungkin dia agak terkejut dengan antusiasme dan lengkapnya daftar pertanyaan saya tentang Mamah. Ada satu yang membuat hati terharu, ucapan yang beberapa kali diulanginya. Katanya, “Yang membuat Mamah pantas disebut berhati mulia oleh karena dia selalu mau menolong orang walau dia sendiri susah.” Mamah selalu terbuka tangannya untuk menampung sanak famili yang datang dari Cirebon ke Jakarta walau ia sendiri tidak sedang jaya katanya. Wow … Bangganya hati ini. Tiba-tiba teringat cerita tua, bahwa dahulu ketika sekeluarga masih tinggal di pinggir kali Toko Tiga, Blandongan, Mamah selalu menyediakan kendi berisi air putih dingin. Selalu penuh terisi dengan beberapa gelas plastik dan ember kecil untuk mencuci. Disediakan bagi para tukang becak yang memang sering mangkal di depan rumah. Dan sesekali Mamah masak sup sepanci besar, favoritnya sayur asam, juga diberikan dengan cuma-cuma untuk para tukang becak.

Tetapi liku-liku hidup Mamah amat melelahkan. Sejak kelas 4 SD saya sudah tidak lagi memiliki ayah. Dan Mamah harus membanting tulang membesarkan tujuh anak. Pagi-pagi buta sudah bangun dan berangkat kerja. Sempat pula sebelumnya membangunkan kami untuk sekolah, menyediakan sarapan pagi, memberi uang jajan. Senja, ketika matahari terbenam barulah dia kembali. Bertahun-tahun dilewatinya seperti itu. Saya sungguh-sungguh tidak dapat merasakan pergumulan dan besarnya pengorbanan Mamah hingga saat saya sendiri bergumul membesarkan 3 anak. Tidak punya waktu ia memperhatikan dan mengawasi sekolah serta pergaulan anak-anaknya. Tetapi kehadirannya selalu memberi kehangatan seorang Mamah yang selalu saya rindukan, bahkan hingga saat ini.

Teringat saya bagaimana menyampaikan Injil kepada Mamah. Mamah senang sekali dipijati. Dan saya adalah pemijat langganannya. Sewaktu-waktu Mamah memberi upah untuk itu. Tetapi malam itu saya menawarkan diri untuk memijat, hanya sementara melakukannya saya bercerita tentang Yesus. Mamah punya sebuah keramat di atas loteng, katanya adalah roh anak yang keguguran. Si Pungut namanya. “Mah, apakah Mamah percaya bahwa si Pungut dapat membawa Mamah ke Surga?” Itu pertanyaan saya pertama. Dari sana pembicaraan kita berkembang. Dan Tuhan sepertinya sudah mengkondisikan hatinya untuk terbuka bagi Dia. Mamah mengijinkan saya membuang si Pungut. Dan dia berjanji akan ikut ke Gereja. Singkat cerita, beberapa tahun kemudian Mamah dibaptis di sebuah gereja Pentakosta, Rengas Dengklok.

Perjumpaan terakhir dengan Mamah adalah Juli 1997. Dia memasakkan kesukaanku dulu, Sayur Asam. Kita sempat pergi berdua, saling bertukar cerita, berdoa, bahkan menangis bersama berbagi rasa rindu. Saya traktir Mamah di sebuah restoran yang baik. Sempat kuundang Mamah untuk jalan-jalan ke Amerika, tetapi jawabannya selalu sama, “Takut mati di atas pesawat” katanya. Di hari terakhir, sebelum mengucapkan selamat berpisah, Mamah punya insting yang tajam. Katanya, “Heng, mungkin kita tidak akan berjumpa lagi!”. Dia benar, saya tidak lagi punya kesempatan berjumpa dengannya.

Saya bersyukur kepada Tuhan untuk Mamah. Dia adalah seorang pahlawan besar dalam hidupku. Ketabahannya, kemurahan hatinya, pengorbanannya, dan cinta-kasihnya akan selalu terukir dengan tinta emas dalam sejarah. Thanks Mah! I love you!

No comments: